Selasa, 22 November 2016

KEBUDAYAAN MASYARAKAT PANGRUMASAN

       
 PANGRUMASAN KECAMATAN PEUNDEUY - GARUT
         Kondisi Desa Pangrumasan pasca gempa September 2009

         Ada yang tahu dengan Desa Pangrumasan, salah satu desa yang berada di Kecamatan Peundeuy ? Kali ini siska akan memperkenalkan lagi dan menceritakan tentang Desa Pangrumasan, desa yang sangat berkesan saat siska mengexplorenya. This Is South Garut. 
         Pangrumasan adalah suatu Daerah yang terletak di garut selatan kabupaten Garut, adapun Nama Pangrumasan di ambil dari dua suku kata yaitu "Pangru" kata tersebut diambil dari nama sungai yang bernama Cipangru ada di Pangrumasan kemudian kata "Masan" yang mempunyai makna keemasan. Orang-orang terdahulu yang menghuni daerah ini meramalkan dan memprediksikan bahwa Pangrumasan kelak kedepannya akan menjadi daerah yang mak'mur dan sejahtera, sesuai dengan namanya. 
        Kebudayaan Masyarakat Pangrumasan yang ada sejak dulu diantaranya: Tradisi ngaruat Lembur, Tradisi ziarah, Tradisi Hajat Tujuh Bulan, dan lain-lain sehingga Pangrumasan bisa disebut kaya dengan budaya dan bertumpu kepada nama yang berarti keemasan, yang telah diwariskan leluhurnya untuk dilanjutkan untuk masa yang akan datang. Seperti yang dikutip artikel dari blog ( komunitas budak pangrumasan ) Selain kaya akan budaya, pangrumasan juga kaya akan panorama alamnya yang tidak hanya dikelilingi bukit-bukit pegunungan yang indah, di pangrumasan juga terdafat beberapa curug yang pernah siska explore seperti :

Curug Batu Nyusun 
(yang menurut penduduk setempat masih ada kaitannya dengan cerita legenda sangkuriang)


Curug Koncrang


 Curug Ngebul


 Curug Eule


Curug Ermat


Curuk Cikole


Curug Salawe yang berarti 25 

Dan masih ada 24 Curug lainnya.

HAJAT LAUT


HAJAT LAUT GARUT SELATAN

Gambar terkait



Pantai Rancabuaya merupakan Wisata Pantai Garut Selatan yang elok dan indah, Rancabuaya nama sebuah pantai wisata yang terletak di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut. Lokasinya berada di pesisir selatan Garut, terletak di antara kecamatan cidaun-cianjur dan kecamatan caringin-Santolo di Pameumpeuk. Di pantai ini sering membuat hajatan laut setiap tahunnya, dalam rangka pesta laut (hajat para nelayan) sebagai tradisi ritual persembahan atas nikmat. 
Hasil gambar untuk hajat laut rancabuaya
Ribuan masyarakat dan nelayan di pesisir pantai Rancabuaya Garut selatan memenuhi pantai guna menyaksikan prosesi pesta laut yang di gelar setiap tahun. Prosesi pesta laut menyerahkan berbagai sesajen di maksudkan agar pendapatan nelayan khususnya dalam menangkap ikan berlimpah. Pesta laut Rancabuaya biasanya dilaksanakan pada setiap akhir tahun, puluhan ribu pengunjung itu berdatangan dari sekurangnya delapan wilayah kecamatan lainnya sepanjang 83 kilometer pesisir pantai, juga wisatawan domestic dari Garut, Bandung, Bekasi, dan Jakarta. Salah satu diantara banyak fasilitas villa yang tersedia, tidak perlu bingung mau menginap dimana, di kawasan pantai Rancabuaya ini terdapat banyak fasilitas penginapan, dari yang sederhana sampai bangunan baru yang kualitas nya lebih baik. Banyak tersedia juga tempat duduk santai dan gazebo untuk menikmati kawasan pantai yang indah. Selain itu pantai Rancabuaya memiliki potensi yang luar biasa untuk dijadikan tujuan wisata, namun pantai Rancabuaya memang kurang di promosi sehingga kurang begitu terkenal. Tempat wisata pantai Rancabuaya terletak di daerah Garut Selatan. Pantai ini memiliki batu-batu karang besar dan langsung berbatasan dengan Samudra Hindia, sehingga memiliki ombak yang sangat besar.

Cagar Budaya Alam Leuweung Sancang Garut

Written By Siska Maulani on Rabu, 23 November 2016

Hasil gambar untuk budaya Sancang
Hutan atau kata basa sunda namanya leuweung, di Kabupaten Garut ada salah satu hutan yang sangat alami dengan suasa alam yang masihasli serta berbagai cerita mitos di kalangan masyarakatsekitar yang ada di leuweung sancang garut. Hutan Sancang terletak di bagian selatan Kabupaten Garut berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya di Desa Sancang, Kec. Cibalong.
Hutan sancang merupakan salah satu cagar budaya alam di Indonesia yang bertaraf Internasional yang belum tersentuh oleh fasilitas pariwisata secara khusus oleh pemerintah pusat maupun pemerintah setempat. Fasilitas yang saat ini ada hanya sau pos jagawana serta petugas yang berjumlah 180 orang. Untuk aktivis yang dapat dikembangkan di Hutan ini adalah, Tracking, fotografi, penjelajahan hutan, penelitian, memancing, berkemah dan aktiitas-aktivitas lainnya yang tidak merusak lingkungan alam itu.
Hutan Sancang adalah hutan yang dilegendakan sebagai tempat tilem (tempat hilangnya) Prabu Siliwangi. Di hutan ini juga terdapat pohon Kaboa (mirip dengan pohon bakau/Mangrove) yang menurut kepercayaan setempat merupakan penjelmaan para prajurit Pajajaran yang setia kepada Prabu Siliwangi. Oleh karena itu hutan ini dipercaya sebagai hutan keramat yang memiliki daya magis bagi kalangan masyarakat lokal. Nama Sancang yang tersusun dari huruf-huruf SANCANG dipercaya memiliki arti khusus, yaitu :
1. S mempunyai arti : Sasakala asal usul carita sesepuh urang-urang sadaya, yang berarti Hutan Sancang merupakan tempat asal usul nenek moyang kita semua.
 2. A rnempuilyai arti: Anu luhur tur ngahiang, yang berarti daerah Sancang adalah daerah keramat dan sejak zaman dahulu sudah dikenal.
3. N mempunyai arti: Nyata sarta talapakuran tah ku aranjeun manusa, yang berarti Hutan Sancang adalah nyata dan pertu untuk dikaji oleh setiap manusia.
 4. C mempunyai arti: Cacandran carita sesepuh urang sadaya, yang berarti Sancang adalah asal usul cerita tentang nenek moyang kita semua.
5. A yang kedua mempunyai arti : Aya nya carita Pasundan / Padjajaran, yang berarti asal-mula dari kerajaan Pasundan dan Padjajaran.
6. N mempunyai arti: Negri Padjajaran tilas Siliwangi, yang berarti Hutan Sancang merupakan salah satu wilayah negeri Padjajaran peninggalan Siliwangi.
7. G mempunyai arti: Goib di Sancang Pameungpeuk Garut, yang berarti Hutan Sancang mempunyai cerita gaib dan setiap manusia harus mempercayai hal gaib seperti Tuhan YME yang sifatnya gaib.
Seperti pada kawasan konservasi umumnya, tidak ada sarana pariwisata di hutan ini, baik yang berupa fasilitas akomodasi ataupun rumah makan, tetapi apabila pengunjung ingin bermalam dapat menggunakan fasilitas akomodasi terdekat yang terletak di Kecamatan Pameungpeuk. Untuk fasilitas rumah makan juga terdapat di Kecamatan Pameungpeuk. Adapun jarak yang akan ditempuh sekitar 13 km dari pusat pemerintahan kecamatan. Objek wisata tersebut berjarak kurang lebih 2 Km dari pusat kecamatan Pameungpeuk.

Nyucruk Galur Raratan Prabu Kean Santang

  (Situs Gunung Nagara Sancang Garut)

Sambil mendengar lagu Udje diperjalanan: "Sepohon kayu daunnya rimbun, lebat buahnya, walaupun hidup seribu tahun....


Situs Gunung Nagara (Hutan/Leuweung Sancang Tilu)

Dalam peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.

Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota. oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.

Secara geografis Gunung Nagara berada dikasawan Hutan (Leuweung dalam bahasa Sunda) Sancang Tilu, ia terletak di wilayah Desa Sukanegara-Cisompet-Garut. Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP. 35.000,00, atau jika berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp 40.000,00 (Hasil survey harga Januari 2015). Kita minta diturunkan di Desa Sukanegara-Cisompet. Dari Desa Sukanegara, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas dan indah.

Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, bisa menemui Abah Olih (kuncen) untuk minta diantar. Perjalanan baru akan mendapat tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal. Terkadang kita harus melewati jalanan yang kemiringannya mencapai 75 derajat, tidak akan dijumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.

Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama dikenal dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya.

Menurut Kepala Desa Sukanegara, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga melambangkan sab’ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua diyakini sebagai makam asli Prabu Kian Santang (Eyang Brajasakti) dan istrinya Ratu Gondowoni, dan pusaran ketiga merupakan kuburan Prabu Siliwangi dan patihnya. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab (Syeh Abdal Jabar).


Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gerombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar diperseorangan. Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.

Legenda Kian Santang

Banyak hutan di Jawa Barat memiliki nilai legendaris. Selain menjadi penyangga utama lingkungan, hutan-hutan tersebut juga menjadi sumber folklor atau cerita rakyat, yang tercatat dalam dongeng, kepercayaan lokal, babasan, dan paribasa. Kawasan selatan Garut memang memiliki hutan legendaris, yaitu Leuweung Sancang.

Banyak kisah mengandung kepercayaan (mitos) yang menganggap Sancang sebagai tempat tilem (menghilang) Prabu Siliwangi. Menurut cerita rakyat yang berhasil dikumpulkan oleh panitia Hari Buku International Indonesia yang diprakarsai Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 1972, Prabu Siliwangi mubus (kabur menyelinap) ke arah selatan karena dikejar-kejar anaknya, Kian santang, agar masuk Islam. Tiba di Hutan Sancang, ia bersama pengikut setianya menghilang. Prabu Siliwangi mindarupa (berubah wujud) menjadi harimau putih, sedangkan pengikutnya menjadi harimau belang manjang yang disebut maung Sancang. Warna garis-garis hitam horizontal yang memanjang dari arah kepala ke bagian ekor membedakan maung Sancang dengan maung Lodaya, penghuni asli Sancang yang bergaris-garis hitam vertikal. Konon harimau putih jelmaan Prabu Siliwangi bersemayam di sebuah goa besar bernama Guha Garogol dan sesekali merenung menyendiri di puncak Karang Gajah di dekat muara Sungai Cikaingan. Adapun maung Sancang mendiami rumpun-rumpun kayu kaboa, sejenis pohon bakau, yang hanya terdapat di pantai Samudra Hindia kawasan Sancang.


Menurut sebagian besar masyarakat Sukanegara, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan penyebaran Islam diwilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Maharaja Pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.

Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk Islam.


Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan “Godog” yang mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan “Kawah Candradimuka”, dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut dinamakan “Suci”, yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.

Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan dengan tokoh Fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan Sunan Gunung Jati keponakan dari Prabu Walangsungsang pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sanghiang (1521-1535 M).

Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Sri Sang Ratu Dewata Kajayaan Padjajaran di Pakuan Padjadjaran, dari Lara Santang yang sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy Effendie kepada garut.go.id di Garut.

Beliau menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Ambetkasih, Nyi Mas Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda (Adik dari Pangeran Amuk Barugul Putra Mahkota Sunda). Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Rakeyan Santang Parmana, Walangsungsang dan Lara Santang, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua yakni Prabu Surawisesa.

Sementara itu, Rakeyan Santang Parmana memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan Rohmat Suci atau Sunan Godok atau Kean Santang, Eyang Brajasakti. Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.

Menurut Deddy Effendie (berdasarkan sumber tradisi Garut), Hilman Hafid (Penulis buku "Nyukcruk Galur Mapay Raratan Siliwangi) dan Ir H. Dudung Fathirrohman (Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepadanya)  menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh. Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankanaya India, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera (Putri Hijau) tidak memiliki anak sehingga mengangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri. Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (Wang Amet Samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut. Putrinya Nyimas Kanditha Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.

Kanditha Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ditinggalkan ketika melahirkan. Anaknya oleh Ki Parangdami dipanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi. Sumber lain mengisahkan bahwa setelah melahirkan putranya, Nyimas Kanditha Setiawati lebih memilih menyendiri ditepi pantai Sayang Heulang dalam perenungan hidupnya, sehingga suatu saat mendengar bisikan ghaib dari arah laut selatan tersebut. Hal ini yang dikaitkan dengan legenda Nyai Roro Kidul atau Putri yang bersedih dari Selatan. Sumber lain juga mengisahkan bahwa setelah Nabi Sulaeman AS wafat, Ratu Bilqis bertapa disuatu negara & bertemu dengan seorang Putri, yamg diangkat menjadi penguasa Laut Selatan.

Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir. Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung/hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali. Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan. Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman. Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.

Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.

Kisah lain juga menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib selain memberikan pedang Nabi Muhammad SAW, beliau juga memberikan tongkatnya (yang terbuat dari kayu Kokka) pada Kean Sancang sebagai kenang-kenangan. Oleh Kean Sancang tongkat tersebut disimpan dibagian lain hutan Sancang (Hutan/Leuweung Sancang Opat). Seiring berjalannya waktu, karena mungkin karena faktor kesuburan tanah didaerah hutan Sancang, tongkat Ali bin Abi Thalib yang terbuat dari bahan kayu Kokka itu tumbuh menjadi pohon yang kini dikenal dengan nama pohon Kaboa.




Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata. Hingga pertengahan tahun 1980-an, Hutan Sancang sebagai hutan tutupan suaka margasatwa masih terbilang utuh, tetapi pada tahun 1998 mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan pembalakan liar. Salah satu satwa liar penghuni Sancang, banteng, hilang lenyap tak berbekas. Mungkin satwa itu kabur ke arah Hutan Pangandaran yang masih cocok untuk habitat banteng atau mungkin bergelimpangan mati akibat dampak perusakan hutan. Nasib banteng Sancang sangat mirip dengan nasib banteng Cikepuh, Kabupaten Sukabumi, yang juga rusak terkena penyelewengan eforia reformasi.

Area Hutan Sancang kini menyempit karena sebagian terkena pembangunan jalur jalan lintas selatan. Kondisi keamanannya sangat rawan. Kekayaan flora dan faunanya juga sangat menyusut. Selain kehilangan banteng, Sancang juga kehilangan berbagai jenis burung langka, seperti rangkong dan julang, serta harimau, baik maung Sancang maupun maung Lodaya. Jenis kayu werejit yang getahnya mengandung racun keras ikut tumpas bersama kayu-kayu hutan tropis heterogen lainnya. Yang masih tersisa dari Hutan Sancang mungkin hanya legenda dan mitos, yang juga mulai tergerus waktu.


Islam Masuk ke Garut Sejak Abad 1 Hijriah

Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan dengan tokoh fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan Sunan Gunung Jati pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sangiang (1521-1535 M).

Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy Effendie kepada garut.go.id di Garut, Selasa.

Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Sindangksih, Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda, Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Walangsungsang, Lara Santang dan Raden Sangara, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua yakni Prabu Surawisesa.

Sementara itu, Raden Walangsungsang memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.

Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.

Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islam- kan oleh Sayidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.

Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).

Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padahal istrinya Islam.


“Info Terbaru”

Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.

Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankayana, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak memiliki anak sehingga menangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri.

Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.

Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.

Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia.

Anaknya oleh Ki Parangdami dopanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.

Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.

Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung/hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali.

Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan.

Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman.

Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.

Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.

Prabu Kian Santang, Raja Yang Hidup Abad Ke 15

Prabu Kean santang atau Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci, adalah Putra Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Raja Pakuan Pajajaran dengan Nyi Subang Larang, Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang dinikahkan oleh Syekh Quro Karawang. Dari pernikahan Sri Baduga Maharaja dengan Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang putra yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati) dan Prabu Kiansantang.

Godog adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud

Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi (Nyi Subang Larang). Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.

Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kian santang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.

Kian santang merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kian santang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.

Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kian santang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kian Santang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa.

Lalu, orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang – Berani, Setra – Bersih/Suci).

Setelah Prabu Kian santang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kian santang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu adalah bernama Syekh Ali al arobbi. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.

“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki-laki itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, syekh Ali al arobbi berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”

Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun syeh Ali al arobbi. mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.

Syeh Ali al Arobbi. mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Syeh Ali al Arobbi. tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.

Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan syeh Ali al arobbi. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah syeh Ali al arobbi

Setelah Kian santang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kian santang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.

Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan  syeh Ali al arobbi. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.

Tahun 1355 Masehi, Kian santang berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kian santang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Kian santang mensyi’arkan agama Islam.

Setiba di Pajajaran, Kian santang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.

Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku meninggalkan keraton Pajajaran”.

Melihat gelagat demikian, Kian santang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kian santang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kian santang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal, Kian santang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.

Prabu Kian santang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi.

Kian santang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.

Pada tahun 1372 Masehi, Kian santang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kian santang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kian santang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.

Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kian santang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kian santang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.

Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kian santang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah. Kian santang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kian santang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kian santang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.

Prabu Kian santang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kian santang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

Yang benar itu kian santang masuk islam oleh syekh Ali al arobbi. Bukan sayidina ali. Karena sayidina ali itu hidup di Zaman nabi. sedangkan kian santang tidak hidup di zaman nabi. 


SEJARAH GARUT VERSI MAJLIS DZIKIR SUNAN ROHMAT

Kota Garut merupakan ibu-kota wilayah Priangan Timur yang terkenal dengan alamnya yang asri, pegunungan yang indah, hawanya sejuk-segar, tanahnya subur, penduduknya peramah dan alim. Pengaruh dari ajaran-ajaran Islam terhadap penduduk Garut bekembang dengan mendalam, sebagai peninggalan sejarah penyebaran agama Islam antara lain adanya makam Godog yang dikatakan sebagai makam keramat; yaitu makam Prabu Kiansantang penganut agama Islam yang pertama dari Kerajaan Pajajaran.

Sejarah kota Garut dapat ditelusuri dari hadirnya Kerajaan Zaman Hindu di Jawa Barat yang pertama, yaitu Tarumanegara (didirikan pada tahun 400). Kemudian muncul Kerajaan Galuh (1249-1333), Kerajaan Pajajaran (1333-1579) yang meliputi daerah Jawa Barat (Pasundan) dengan Rajanya yang terkenal yakni Prabu Siliwangi berkedudukan di Pakuan (Bogor). Berkembangnya Islam di pulau Jawa lambat laun memasuki kalangan Keraton, sehingga menjadi tanda pergantian zaman, dari Zaman Hindu ke Zaman Islam.

Putra Prabu Siliwangi yang bernama Kiansantang, terkenal gagah perkasa dan sebagai putera mahkota yang pertama memeluk agama Islam, telah menyebarkan agama Islam sampai ke daerah Garut. Tempat yang terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di Garut disebut daerah Suci, makam Prabu Kian santang berada di daerah Godog dilereng Gunung Karacak, sehingga beliau disebut dengan nama Sunan Godog atau Sunan Rochmat. Makam tersebut dianggap keramat, pada setiap bulan maulud banyak orang yang ber-ziarah.

Terdapat bekas tempat tinggal (Patilasan) Kiansantang pada saat menyebarkan agama Islam di daerah Garut selatan (di Gunung Nagara Desa Depok), yang dianggap sebagai keramat. Bahkan ada cerita karena kesaktiannya, maka rakyat yang tidak mau memeluk Agama Islam ditenung (disantet) dengan tongkatnya kemudian seketika menjadi Harimau, (alkisah dikabarkan mereka yang tidak mau memeluk agama Islam, lari ke hutan yang disebut dengan Leuweung Sancang). Peninggalan Kiansantang yang saat ini masih ada yaitu : (1) Quran di Balubur Limbangan, (2) Keris (Duhung) di Cinunuk Hilir (Wanaraja), (3) Tongkat di Darmaraja, (4) Kandaga (Peti) di Godog.

Lahirnya Garut sebagai salah satu kota tempat penyebaran agama Islam, diawali dengan munculnya pesantren pada saat hadirnya Sjech Kamaludin keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon (1552-1570), sebagai Demang (Wedana) Timbanganten, mendapat julukan Sembah Dalem Sjaechuna Timbanganten, beliau memberikan ajaran agama Islam .Kemudian murid-muridnya membuka pesantren di berbagai tempat di Garut.

Kabupaten Limbangan merupakan cikal-bakal lahirnya Kabupaten Garut, dijaman yang lampau Balubur Limbangan mengalami zaman keemasan yang gilang-gemilang, subur-makmur, aman dan tentram; maka Balubur Limbangan menjadi catatan para sejarahwan dan tidak mudah dilupakan orang, karena kecakapan pemerintahnya, dapat menjalankan, memperhatikan keseimbangan di segala bidang dan dapat mengikuti perkembangan syiar Islam yang dilakukan oleh pemerintah Cirebon, Limbangan saat itu dikenal dengan wilayah yang mempunyai daya kekuatan batin.

Nama Limbangan berasal dari kata Imbangan yang berarti memiliki kekuatan batin, pada abad dimana Islam sedang pesatnya mengalir ke setiap pelosok tanah air Indonesia, Limbangan dipimpin oleh seorang bupati, sebagai wakil dari Syarif Hidayat (1552-1570). Awalnya pemegang kekuasaan limbangan adalah Dalem Prabu Liman Sendjaya cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Lajakusumah. Prabu Liman Sendjaja diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I, yang lebih dikenal julukan Sunan Dalem Cipancar.

Mulai dari Raden Widjajakusumah ke-1 ini, Bupati Limbangan yang dikenal dengan Bupati Galih Pakuan sangat termasyhur akan kebijaksanaannya dalam memimpin, tentang kecakapan mengatur pemerintahan, peribahasa Sunda (Dinas P dan K Kabupaten Garut : 1963) mengatakan Sepi Paling Suwung Rampog, Hurip Gusti Waras Abdi (aman, tentram dan damai).

Bupati Widjajakusumah sebagai pemuka tabir bahwa Balubur Limbangan mempunyai kekuatan batin. Syahdan Kepala daerah Cirebon, Syarif Hidayat. Pada suatu saat beliau memerintahkan kepada semua bupati untuk menghadiri rapat bupati di Cirebon, seluruh bupati diwajibkan hadir tepat waktu, bila ada yang melalaikan perintah Syarif Hidayat, maka akan dikenakan hukuman mati.

Upaya tersebut merupakan penanaman disiplin bagi aparatur negara pada waktu itu. Maksud dari yang terpenting dari kumpulan itu, guna menjelaskan tentang keunggulan ajaran agama Islam. Pada saat itu ditegaskan bahwa sebagai penganut Islam, harus berjanji untuk menjalankan segala perintah agama dan tidak akan bertentangan dengan hukum-hukum serta menurut perintah Tuhan.

Perjalanan dari Limbangan menuju Cirebon saat itu sangat sulit, oleh karena itu Bupati Galihpakuan, Raden Widjajakusumah datang terlambat pada acara rapat tersebut. Sesampainya di Pendopo, Bupati Galihpakuan ditangkap oleh para algojo yang bertugas, dan akan dibunuh dengan mempergunakan senjata miliknya, namun ketika keris ditusukkan pada tubuh Bupati Raden Widjajakusumah, tiba-tiba semua algojo itu terjatuh lemas ke tanah.

Seluruh isi Pendopo menjadi panik, hingga rapat terganggu dan dihentikan untuk sementara waktu, Syarif Hidayat keluar dan menjumpai para algojo, beliau menanyakan sebab-sebab kejadian ini, maka para algojo menjelaskan, bahwa saat menjalankan tugas dari beliau untuk menghukum Bupati Galihpakuan yang datang terlambat, mereka tidak berdaya. Syarif Hidayat menoleh kepada Bupati Galihpakuan, maka mengertilah bahwa bupati yang bersalah itu seharusnya dihukum dengan tidak mengenal pangkat, teman atau saudara.

Bupati Galih pakuan dengan iklas mempersembahkan kerisnya kepada Syarif Hidayat, guna menjalani hukuman. Setelah keris berada ditangan Syarif Hidayat, maka terlihatlah lapadz Quran Laa Ikrooha Fiddiin, yang terukir pada keris tersebut, maka Syarif Hidayat memahami, bahwa orang yang diizinkan memakai keris tersebut adalah orang yang sangat berjasa, karena keris tersebut adalah senjata pusaka dari Prabu Kian santang Pendekar Agama Islam. Keris itu dapat dipandang sebagai bintang perjuangan dalam menyebarkan agama Islam.

Akhirnya Syarif Hidayat tidak jadi membunuh Bupati Galihpakuan dan mengumumkan kepada semua bupati dalam rapat, bahwa Bupati Galihpakuan tidak jadi dibunuhnya karena beliau merupakan orang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam, terbukti dengan memilikinya Senjata Pusaka. Dijelaskan pula oleh beliau bahwa keterlambatannya bukan berarti melalaikan undangannya, tetapi karena disebabkan sulitnya perjalanan. Diumumkan pula, bahwa sejak hari ini nama Bupati Galihpakuan diganti dengan nama Bupati Limbangan yang berarti bahwa Galihpakuan telah mengimbangi Cirebon dalam syiar Islam.

Nama Limbangan saat ini masih ada dan Senjata Pusaka pun masih ada pada keturunan Raden Wangsa Muhammad alias Pangeran Papak di Cinunuk Kabupaten Garut. Dalam sejarah Kabupaten Limbangan disebutkan bahwa Bupati Limbangan yang berkedudukan di Limbangan, yang terakhir adalah Bupati Raden A.A. Adiwidjaja.

Pada tahun 1812 di tetapkan bahwa kedudukan bupati di pindahkan ke daerah distrik Suci, di suatu kampung yang sunyi-senyap yaitu Garut. Semula Ibu Kota akan dipindahkan di daerah Karangpawitan, namun tidak memiliki sumber air sehingga tidak terpilih, maka tempat itu disebut pidayeuheun.

Sebagai lazimnya setiap nama tempat memiliki riwayat, begitupun Garut mempunyai riwayat sebagai berikut; Sebelum Garut menjadi tempat tinggal (perkampungan), orang yang menemukan tempat itu tertarik oleh tanahnya yang datar dan mempunyai pemandangan indah yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Ditengah-tengah dataran itu terdapat sebuah mata air yang merupakan telaga kecil tertutup oleh semak belukar yang berduri, dari mata air yang merupakan telaga kecil itu mengalir sebuah anak sungai kecil.

Pada saat orang yang menemukan telaga kecil itu akan mengambil air, tangan mereka tergores (kagarut) rerumputan hingga berdarah. Kemudian semak-belukar tersebut dinamainya Ki Garut. maka telaganyapun diberi nama Ci-Garut. Semak belukar tersebut secara bergotong-royong dibersihkan dan kemudian dibangun menjadi kota Kabupaten Limbangan yang baru.

Pembangunan perumahan, jalan-jalan dan segala fasilitas lainnya, selesai tanggal 1 April tahun 1813. Sejak itulah Kota Garut menjadi Kota Kabupaten. Bupati Garut yang pertama adalah Raden A.A. Adiwidjaja, yang kemudian mendapat julukan Dalem Cipeujeuh, karena dimakamkan di Cipeujeuh.

Adat-istiadat rakyat yang selalu hormat setia kepada kepala daerahnya mulai kepada Lurah (Kepala Desa) sampai kepada Bupati dengan mendapat sebutan : Juragan, Gamparan sampai Kangjeng, ditiru pula dalam hubungan antara buruh dan tuan-kuasa anderneming, mendapat panggilan Kangjeung Tuan Besar.

Majunya perusahaan Asing (perkebunan) memerlukan pegawai Indonesia rendah yang pandai membaca dan menulis (antara lain untuk menjadi mandor, Juru Tulis). Tahun 1872 didirikan sekolah yang lamanya tiga tahun, jumlah sekolah pada waktu itu hanya sedikit demikian pula muridnya. Rakyat lebih tertarik untuk mengikuti pendidikan pesantren dari pada bersekolah.

Pada Tahun 1900 diadakan sekolah Kelas Satu yang lamanya lima tahun, Pada tahun 1907, Sekolah Kelas Satu menjadi enam tahun dan ditambah dengan pelajaran bahasa Belanda, Murid yang diterima masuk kesekolah Kelas Satu itu hanya keturunan kaum bangsawan saja. Untuk rakyat kebanyakan di adakan sekolah Kelas Dua lamanya empat tahun.Pada tahun 1914 sekolah Kelas Satu dirubah menjadi H.I.S., bahasa pengatarnya bahasa Belanda dan kepala sekolahnya orang Belanda, sedangkan untuk anak-anak Belanda sendiri didirikan sekolah Belanda.

Mengawali implementasi emansipasi perempuan dan kemitrasejajaran gender di Garut saat itu, isteri Bupati Garut Raden Ayu Lesminingrat mengikuti jejak Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah Kautamaan Isteri pada tahun 1910 tempatnya di halaman Kabupaten. Pada tanggal 31 Juni 1931 di Garut berdiri cabang PASI (Pasundan Istri). Usaha Pasi sejak berdirinya sebagai berikut ; (1) tahun1933 mendirikan Consuntatie Bereau, (2) tahun 1933 mendirikan Bank Pasi mendapat hak Badan Hukum tahun 1936, tahun 1936 mendirikan Badan Kematian dan Verbruik Cooperatie. Dalam aksi-aksi Pasi tidak ketinggalan, tahun 1934 mengadakan rapat umum menuntut supaya di Volksraad ada perwakilan perempuan. Tahun 1939 mengadakan rapat umum bersama-sama dengan Gapi bertempat di Gedung Taman Siswa Garut untuk menuntut Indonesia berparlemen.

Uraian tentang sejarah Garut tersebut menunjukkan bahwa Garut sebagai salah satu daerah pusat penyebaran agama Islam telah menjadikan masyarakatnya terinternalisasi oleh nilai-nilai Islam dan sebagai bekas pemerintahan jaman kerajaan pun, masyarakatnya masih menghargai dan membanggakan perbuatan terpuji yang telah dilakukan leluhurnya, seperti Prabu Kiansantang. Disamping itu aktifitas pemberdayaan perempuan tercermin dari realitas emansipasi perempuan dalam kegiatan organisasi Pasundan Istri yang diprakarsai ole istri Bupati Garut pada tahun 1910.


Kesimpulan :
1. Prabu Siliwangi mindarupa (berubah wujud) menjadi harimau putih, sedangkan pengikutnya menjadi harimau belang manjang yang disebut maung Sancang ===> Dalam Agama Islam tidak ada reinkarnasi, istilah reikarnasi hanya ada dalam agama Hindu dan Budha, yang jelas tersebut adalah mahluk Ghoib (Jin).

2. Yang ditemui Prabu Kian Santang bukan sayidina ali r.a karena terpaut jarak perbedaan abad yang jauh. Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).

KAMPUNG ADAT DUKUH DALAM DESKRIPSI


SEJARAH DAN  BUDAYA
Oleh    : SISKA MAULANI
KELAS XI IPA 1 
SMAN 5 GARUT

1.  Letak Geografis
Kampung Adat Dukuh adalah salah satu Kampung Adat yang terletak di kota Garut tepatnya di Desa Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.Kampung ini merupakan salah satu perkampungan tradisional (kampung adat) yang masih menganut kepercayaan nenek moyang, masyarakat masih mematuhi Kasuaran Karuhun (Tabu/Nasihat Leluhur). Wilayah ini juga sering disebut dengan wilayah Kandang Wesi. Permukiman Kampung Adat Dukuh berbeda dengan kampung yang biasanya, selain berada di dataran tinggi kampung ini juga mempunyai cirihas dan keunikan tersendiri. Sepanjang perjalanan sepertinya telah menyuguhkan pemandangan yang tidak kalah menarik dibanding kampung lainnya. Pengunjung dan penjarah yang datang menuju tempat itu seolah  akan terpesona oleh alam yang  berada di sekitarnya. Beberapa hal yang dapat dilihat ketika melewati perjalanan ini, tampak adanya keanekaragaman baik hayati maupun non hayati.
Miniatur Kampung Dukuh di Museum RAA Adiwijaya, Garut

2.    Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk
Luas keseluruhan Kampung Dukuh seluas 10 hektar yang tediri dari 7 hektar bagian dari Kampung Dukuh Luar, 1 hektar bagian dari Kampung Dukuh Dalam dan sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi. Di dalam Kampung Dukuh juga terdapat area yang disebut dengan wilayah Karomah yang merupakan tempat dimana Makam Syekh Abdul Jalil. Di dalam kawasan Kampung Dukuh terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid. Dengan 40 Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang untuk Kampung Dukuh Dalam dan 70 kepala keluarga untuk Kampung Dukuh Luar.
3.    Perbatasan Wilayah
Adapun yang menjadi letak perbatasan Kampung Dukuh ini yaitu sebelah selatan berbatasan langsung dengan kampung Cibalagung, sebelah barat berbatasan dengan kampung Baru Jaya, sebelah timur berbatasan dengan kampung Sukadana dan sebelah utara berbatasan dengan kampung Tipar.
4.    Jarak Tempuh
Jarak kampung dukuh dari desa Ciroyom lebih 1,5 Km, sedangkan dari pusat kota kurang lebih 112 Km. untuk mencapai lokasi ini bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi atau umum bisa juga dengan kendaraan umum sampai Kecamatan Cikelet, dilanjutkan dengan jasa angkutan ojeg sampai lokasi atau bisa juga membawa kendaraan pribadi menuju kampung tersebut.
Perjalanan menuju Kampung Dukuh ini sedikit ada kendala karena jalanan yang tidak rata dan jalanan yang terus naik ke atas bukit. Tetapi kekaguman dan keindahan pemandangan sepanjang perjalanan menuju kampung dukuh ini sangat indah sepanjang luasnya mata kita memandang. Hamparan perkebunan pohon jati menjadikan udaranya sejuk, terlihat gunung-gunung menjulang tinggi, garapan lahan petani yang mayoritas menanam pohon pisang terlihat disepanjang perjalanan, terlihat juga hamparan laut yang indah di pandang dari kejauhan, dan kicauan burung-burung yang merdu terdengar suaranya disepanjang jalan perjalanan seakan-akan menyambut kedatangan tamu yang datang.
5.    Keadaan Penduduk
Keadaaan masyarakatnya sungguh sangat beraneka ragam yang terbentuk oleh buadaya dan adatnya masing-masing. Mereka mempunyai karakter berbeda tetapi perbedaan bukan merupakan sebagai perselisihan melainkan salah satu bentuk untuk memperkuat budaya. Mereka dapat bersatu untuk mewujudkan kepentingan bersama di salah satu tempat untuk berdiskusi mengenai permasalah-permasalah yang terjadi. Keadaaan masyarakat di sana pada umumnya bersifat kekeluargaan, hidup rukun dan adanya interaksi yang kuat antara sesama tetangganya. Walaupun secara keseluruhan mereka tidak menggunakan alat-alat atau fasilitas teknologi di zaman modern ini tetapi mereka juga mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang terus dituntut untuk berbenah dalam segala hal baik pendidikan, agama, ekonomi sosial maupun politik.
Melihat dari segi kehidupan beragamanya semua masyarakat Kampung Dukuh adalah beragama Islam. Keagamaannya sangat kuat dan saling menguatkan mulai dari anak-anak, pemuda sampai orang tua sekalipun dituntut untuk belajar ilmu agama. Pendidikan agama sudah diterapkan sejak dini dan ini merupakan awal untuk membentuk lingkungan yang agamis. Kesadaran beragama memang sudah cukup besar hal ini dibuktikan dengan berdirinya pendidikan-pendidikan nonformal seperti madrasah, masjid, pengajian rutin mingguan, bulanan yang dilakukan secara terus menerus oleh semua kalangan terutama dengan dipimpin oleh seorang pemimpin kampung tersbut yang biasa di panggil dengan sebutan Kuncen. 
6.    Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama adalah bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau, memelihara ikan dan usaha penggilingan padi. Salah satu mata pencaharian utama masyarakat kampung dukuh adalah bertani. Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma atau berladang). Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan lahan yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara bertani ini cukup sedikit. Sedangkan untuk bertani pada lahan kering itu cukup luas, karena biasanya masyarakat adat kampung dukuh akan mebukah hutan untuk dijadikan lahan berladang atau bertani. Karena lahan ini cukup luas. maka masyarakat biasanya banyak yang melakukan bertani pada lahan kering, yaitu seperti ngehuma,berladang. Selain itu juga masyarakat kampung adat dukuh sering memanfaatkan hutan sekitarnya, untuk memenuhi kekebutuhan hidup. Biasanya dimanfaatkan untuk mengambil kayu bakar, mengambil bahan untuk membuat rumah. Hal ini biasa dilakukan oleh masyarakat kampung dukuh sebelum masuknya jawatan kehutanan atau perhutani. Dimana setelah masuknya perhutani ke wilayah adat dukuh, masyarakat menjadi tidak punya akses terhadap hak ulayat mereka.
Berbagai kekayaan alam hayati yang dimiliki oleh Kampung Dukuh ini, memang sudah menjadi kebutuhan dan merupakan investasi bagi perekonomian masyarakat sebagai salah satu loncatan untuk mengembangkan kesejahtraan masyarakat dalam menyeimbangkan perekonimian dengan daerah lainnya di Kabupaten Garut. Salah satu yang menjadi investasi Kampung Dukuh ini yaitu keadaan alam hayati yang dimanfaatkan sebagai lahan untuk bercocok tanam dengan menanam berbagai jenis tumbuhan seperti yang tampak terlihat di sepanjang jalan yang dipenuhi dengan tanaman pangan seperti pesawahan dan perkebunan. Adapun tanaman yang ditanam di lahan pesawahan yaitu padi yang berada di dekat Kampung Dukuh maupun yang jauh dari perkampungan tersebut tetapi mayoritas masyarakat tersebut menggarap pesawahan yang lahan garapannya tersebar di daerah tersebut. Pada  lahan perkebunan seperti tanaman palawija berbagai jenis antara lain tanaman cabe rawit, kacang-kacangan, jagung, terong, dan berbagai jenis sayur-sayuran lainnya dan biasanya mereka dapat bertani seperti itu ketika musim hujan tiba. Selain itu juga karena kampung ini terletak di daerah pegunungan masyarakat juga banyak yang menananm tumbuhan kuat yaitu seperti berbagai macam jenis kayu, bambu, pohon cengkeh, kelapa, buah-buhan dan banyak lagi yang lainnya. Warga Kampung Dukuh bukan hanya mengelola tumbuhan saja ternyata setelah saya masuk ke dalamnya berbagai aktivitas mereka lakukan. Ada diantaranya yang memelihara binatang ternak untuk dilestarikannya seperti domba, kerbau, ikan, ayam, dan itik.
7.    Keunikan dan Ciri khas Kampung Adat Dukuh
Keunikannya adalah keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukiman masyarakat. Terdiri beberapa puluh rumah yang tersusun pada kemiringan tanah yang bertingkat. Setiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari Barat ke Timur. Upacara Moros salah satu manisfestasi masyarakat Kampung Dukuh yaitu memberikan hasil pertanian kepada pemerintah menjelang Idul Fitri dan Idul Adha. Ciri khas lainnya tidak terpengaruh/tergoyahkan oleh kemajuan zaman, seolah-olah tidak mengenal perkembangan ilmu dan teknologi.
Keunikan lainnya adalah saat tidur, kaki tidak boleh membujur ke sisi utara, mandi, kencing semua harus menghadap ke barat dan tidak boleh kencing sambil berdiri alias harus jongkok. Kampung Dukuh juga merupakan area pedesaan dengan pola budaya religi yang kuat. Masyarakat Kampung Dukuh mempunyai cara pandang hidup yang berlandas pada sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii. Landasan budaya tersebut berpengaruh pada bentukan fisik pedesaan tersebut dan adat istiadat masyarakat Kampung Dukuh. Kampung Dukuh sangat menjunjung keharmonisan dan keselarasan hidup bermasyarakat. Idealisme itu berpengaruh kepada bentukan bangunan di Kampung Dukuh yang tidak membolehkan penggunaan dinding dari tembok dan atap dari genteng serta jendela dari kaca. Hal ini dilandasi alasan bahwa hal yang bersifat kemewahan akan mengakibatkan suatu sistem masyarakat menjadi tidak harmonis. Di Kampung Dukuh juga tidak diperkenankan adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio yang dipercaya selain mendatangkan manfaat yang banyak juga mendatangkan kemadaratan yang tinggi juga. Alat makan yang digunakan juga terbuat dari pepohonan seperti khalayaknya bangunan, seperti bambu batok kelapa dan kayu lainnya. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan karena bahan tersebut tidak mudah hancur/ pecah dan dapat menyerap kotoran.
Pola budaya juga berpengaruh pada aspek non fisik seperti ritual budaya, antara lain :
a.    Ngahaturan tuang merupakan kegiatan yang dilakukan masyarakat Kampung Dukuh atau pengunjung yang berasal dari luar apabila memiliki keinginan-keinginan tertentu seperti kelancaran dalam usaha, perkawinan, jodoh, dengan memberikan bahan makanan seperti garam, kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya sesuai kemampuan.
b.    Nyanggakeun merupakan suatu kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada kuncen untuk diberkahi. Masyarakat tidak diperbolehkan memakan hasil panennya sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun.
c.    Tilu Waktos merupakan ritual yang dilakukan oleh kuncen yaitu dengan membawa makanan ke dalam Bumi Alit atau Bumi Lebet untuk tawasul. Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Allit lalu berdoa. Biasa dilakukan pada hari raya 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam.
d.   Manuja adalah penyerahan bahan makanan dari hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk maksud perayaan.
e.    Moros merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat pemerintah seperti lurah dan camat.
f.     Cebor Opat Puluh adalah mandi dengan empat puluh kali siraman dengan air dari pancuran dan dicampur dengan air khusus yang telah diberi doa-doa pada jamban umum.
g.    Jaroh merupakan siuatu bentuk aktivitas berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil. Tetapi sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak.
h.    Shawalatan dilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen. Shalawatan Karmilah sejumlah 4444 yang dihitung dengan menggunakan batu.
i.      Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca Marekah.
j.      Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para orang tua Kampung Dukuh.
k.    Terbang Sejak merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan pernikahan. Pertunjukkan terbang sejak ini merupakan pertunjukan debus.
Terdapat juga hari-hari penting dan hari besar Kampung Dukuh, seperti :
  • 10 Muharam
  • 12 Maulud
  • 27 Rajab
  • 1 Syawal Idul Fitri
  • 10 Rayagung
Hari-hari penting :
a.    Hari Sabtu (Pelaksanaan Ziarah).
b.    Rebo Welasan (Hari terakhir pada bulan Sapar dimana semua sumber air yang digunakan oleh masyarakat diberi jimat sebagai penolak bala dan biasanya diwajibkan mandi).
c.    14 Maulud (Pada hari ini dipercaya adalah hari yang paling baik untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh).
d.   30 Bewah (menyiapkan puasa di bulan Ramadhan).
8.    Keadaan Tanah
Keadaan tanah di Kampung Dukuh saat ini dalam keadaan subur dikarenakan mempunyai unsur hara yang bagus dan baik untuk bercocok tanam. Hal ini telah dibuktikan dengan beberapa hasil tanaman yang berproduksi dengan baik.  Apalagi sekarang sudah memasuki musim hujan dimana saatnya petani untuk memulai bercocok tanam baik di kebun maupun di pesawahannya masing-masing.
Kampung Dukuh termasuk kedalam wilayah dataran tinggi yang jauh dari perkotaan. Pemukiman penduduk yang masih alami dan tinggal di daerah pegunungan yang masih sangat kaya dengan sumber daya alam yang sangat baik, air yang jernih mengalir dari sumber mata air, udara yang sangat sejuk, dan pepohonan di sekitar kampung tersebut seakan-akan menghias keindanhan kampung tersebut.
9.    Peraturan Adat Istiadat
Hukum merupakan suatu bentuk aturan tertentu yang harus dilaksanakan, apabila dilanggar akan mendapat sangsi baik langsung maupun tidak langsung hukum mengatur segi kehidupan satu komunitas tertentu demikian begitupun dengan masyarakat kampung Dukuh pola kehidupan mereka diatur oleh hukum yang mengikat yang menimbulkan karakter masyarakat yang memegang teguh adat. Ada beberapa aturan yang mengikat kehidupan mereka diantaranya :
·      Dilarang selonjoran kaki ke arah makam yang dianggap keramat oleh mereka.
·      Dilarang berdua-duaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim.
·      Dilarang makan sambil berdiri, apalagi menggunakan tangan kiri.
·      Larangan khusus yaitu Pacaduan, Ada 3 Pacaduan di kampung adat ini, yakni Pacaduan Kampung (larangan yang berhubungan dengan kampung), Pacaduan Makom (larangan yang berhubungan dengan makam), dan Pacaduan Leuweung (larangan yang berhubungandenganhutan). LaranganKampungmengaturbentukrumahdanisinya.LaranganMakammengaturtatacaraziarahkemakam. SementaraLaranganHutanmengatur pemeliharaan dan pelestarian hutan.
10.  Kondisi Lingkungan
Suasana atau kondisi lingkungan di kampung ini sangat nyaman. Sebelah selatan dan baratkampung ini terhampar luas perkebunan kayu jati, sebelah timurnya terdapat hutan larangan yang terjaga kelestarian hutannya,  sebelah utara terdapat pesawahan, di arealingkungannya terdapat pohon kelapa dan pohon mangu menambah sejuk dan segarnya udara di kampung tersebut. Bangunan rumahnya tersusun rapi dan terbuat dari kayu, bambu, dan ijuk sebagai atapnya, menandakan kehidupan yang sederhana tapi kenyamanan dan ketenangan ketika berada di kampung tersebut akan dapat dirasakan.
Ketika surara bedug dan kohkol terdengar menandakan waktu sholat sudah tiba dan masyarakat disana berbondong-bodong pergi ke mesjid untuk melaksanakan sholat berjamaah yang biasa dilakukan oleh bapak-bapak dan anak laki-laki.
Fasilitas yang tersedia di kampung itu mulai dari pemandian umum yang airnya berasal dari sumber mata air Gunung Dukuh sebagian orang menyebutnya dengan air suci, rumah tamu, ruangan tamu/penjarah yang berada di rumah kuncen, mesjid, sampai rumah-rumah penduduk kampung tersebut yang selalu terbuka untuk orang-orang yang ingin istirahat atau tinggal beberapa hari.
Saat kita datang ke tempat seperti ini, kearifan lokal sangat terasa dalam menghadapi Globalisasi teknologi dan kemajuan yang luar biasa akhir-akhir ini, sama seperti di pemukiman tradisional lainnya tetua atau sesepuh serta seluruh warga kampung pasti taat pada Uga dan Hukum atau Adat Istiadat yang diberlakukan disini.
Menuntut hak dan melaksanakan kewajiban dilaksanakan dengan lebih tertata serta teratur, mayoritas Turis Asing dan beberapa orang yang ingin menggali ilmu selain berwisata menjadikan tempat seperti ini sebagai tujuan melepas lelah dan menggali potensi diri mendekatkan diri pada Illahi dengan melebur bersama alam di Kampung yang benar-benar alami, bukan kampung buatan atau bikinan yang sudah pasti berbeda dengan Kampung Adat yang real dan original.
Sejarah Kampung Adat Dukuh
Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil.  Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah pesantren yang mempunyai murid-murid cukup banyak.
Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat entong ngarempak syara yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam) seperti membunuh, merampok, mencuri, perzinahan dan sebagianya, dan apabila syarat tersebut tidak diindahkan, maka jabatan sebagai penghulu akan segera diletakkan. Dua belas tahun sejak pengangkatan menjadi penghulu dan selama itu aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar. Akan tetapi ketika Syekh Abdul Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, Sumedang kedatangan utusan Banten yang meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi upeti ke Mataram, tetapi tunduk ke Banten dan bersama-sama memerangi Mataram. Rangga Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru malah dibunuh atas perintahnya, mayat itu dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan Syekh Abdul Jalil.
Walau bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu diketahui Syekh Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki Suta. Kemudian Ia langsung meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Walaupun Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah melakukan pelanggaran syara lagi, Syekh Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya untuk meninggalkan jabatan itu. Sebelum meninggalkan Sumedang, ia sempat berkata” sebentar lagi Sumedang akan diserang oleh Banten”. Ternyata perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri, Sumedang diserang oleh Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Sumedang mengalami kehancuran.
Syekh Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau berpindah-pindah dari satu temapt ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim yang dirasa cocok untuk dijadikan tempat menyebarkan ilmu dan agamanya. Di setiap tempat yang disinggahinya Ia selalu bertafakur, memohon petunjuk Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang dalam beribadah dan menjalankan atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan Alif (tidak ada keterangan yang pasti mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa sinar sagede galuguran kawung atau sebesar pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah tertentu, yang kemudian diikuti oleh Syek Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di antara Sungai Cimangke dan Cipasarangan. Daerah tersebut ternyata telah dihuni oleh suami istri yang bernama Aki (kakek) dan Nini (nenek) Candradiwangsa. Syeckh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul Jalil mulai menempati Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan (diterbitkan 1960), penyerangan Cilikwidara (Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678. Sedangkan pengembaraan Syekh Abdul Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen memakan waktu ± 7 tahun. 
Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan (2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah Cijambe, yaitu Uung Supriyadin, nama Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada waktu berdirinya Desa Cijambe. Sebelum tahun 1901 tidak dapat keterangan apa nama kampung tersebut.
Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali dibumihanguskan. Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2, perkampungan dibakar sendiri oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada masa terjadinya pembrontakan DI/TII dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan oleh pemerintah karena Kampung Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan basis oleh pasukan DI/TII. Kemudian baru-baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun 2006 yang menyebabkan hampir semua bangunan rumah habis terbakar. Berkat swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah dibangun kembali Kampung Dukuh dengan tradisi yang tetap melekat kuat dalam proses pembangunan perkampungan tersebut.
Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang mengelompk, terdiri atas beberapa puluh rumah yang berjajar pada kemiringan tanah yang bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari arah barat ke timur. Letak antar rumah hampir berdempetan, sehingga jalan kampung terletak di sela-sela rumah penduduk berupa jalan setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Luar (Dukuh Landeuh = bawah) dan Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh = atas). Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam, terdapat wilayah lain yang bernama Tanah Karomah (tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah Karomah terdapat Makam Karomah (makam keramat). Di antara ketiga wilayah ini dibatasi oleh pagar tanaman. 
Dukuh Dalam terdiri atas 42 rumah, dengan bentuk, arah membujur dan bahan bangunan yang sama. Jumlah ini tetap, karena tidak ada lagi tanah kosong yang bisa dijadikan tempat berdirinya sebuah rumah. Terdapat peraturan-peraturan yang mengikat penduduknya berupa peraturan tidak tertulis atau bersifat tabu, misalnya tidak boleh menjulurkan kaki ke arah makam keramat yang ada di sebelah utara kampung, tidak boleh makan sambil berdiri, tidak boleh menggunakan barang-barang elektronik dan tidak boleh membuat rumah lebih bagus dari pada tetangganya. 
Dukuh luar merupakan bagian dari kampug yang berada di luar batas taneuh karomah. Segala peraturan tidak berlaku dengan ketat. Bahkan dalam perkembangan sekarang sudah banyak dijumpai bangunan-bangunan yang memakai bahan-bahan yang di Dukuh Dalam tabu untuk dipakai, misalnya genteng, kaca, papan. Walaupun demikian arah rumah-rumah masih tetap dari timur ke barat dan pintu rumah tidak menghadap ke makam keramat.
SEKILAS PANDANG KAMPUNG ADAT DUKUH
Rumah Juru Kunci Kampung Adat Dukuh


 Mushola Kampung Adat Dukuh
 Acara Adat Kampung Dukuh