Sambil mendengar lagu Udje diperjalanan: "Sepohon kayu daunnya rimbun, lebat buahnya, walaupun hidup seribu tahun....
Situs Gunung Nagara (Hutan/Leuweung Sancang Tilu)
Dalam peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya
wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika
dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam.
Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah
berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang,
Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak
menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil
yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan
yang terjadi sekira awal abad ke 13.
Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup
tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para
pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora
cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol,
menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis
tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum
diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita
akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik
berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya
yang cukup besar diperindah dengan mahkota. oranye di atas kepalanya.
Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh,
sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba
dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah
tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis.
Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal
kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan
beragam jenis kupu-kupu.
Secara geografis Gunung Nagara berada dikasawan Hutan (Leuweung dalam
bahasa Sunda) Sancang Tilu, ia terletak di wilayah Desa
Sukanegara-Cisompet-Garut. Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari
terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut
dengan membayar ongkos RP. 35.000,00, atau jika berangkat dari Bandung,
kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan
membayar ongkos Rp 40.000,00 (Hasil survey harga Januari 2015). Kita
minta diturunkan di Desa Sukanegara-Cisompet. Dari Desa Sukanegara,
bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas dan indah.
Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, bisa menemui Abah Olih
(kuncen) untuk minta diantar. Perjalanan baru akan mendapat tantangan
manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal.
Terkadang kita harus melewati jalanan yang kemiringannya mencapai 75
derajat, tidak akan dijumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih
terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa
beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai
paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.
Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai
di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji
(kompleks pertama dikenal dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di
tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut
relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu
nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso
diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara
seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk
sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat
kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat
dua kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang
dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon
kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan
patihnya.
Menurut Kepala Desa Sukanegara, tiga pusaran tersebut melambangkan
Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26
kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua
melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga melambangkan sab’ul matsani.
Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia
mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari para
pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua
diyakini sebagai makam asli Prabu Kian Santang (Eyang Brajasakti) dan
istrinya Ratu Gondowoni, dan pusaran ketiga merupakan kuburan Prabu
Siliwangi dan patihnya. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan
ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon
kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab (Syeh
Abdal Jabar).
Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri
atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah
aslinya terbakar manakala gerombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok,
sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang
peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih
ada, terpencar diperseorangan. Bagi para peziarah yang terbiasa
melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di
Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah
lembah. Sumur itu berada tepat didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur
itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.
Legenda Kian Santang
Banyak hutan di Jawa Barat memiliki nilai legendaris. Selain menjadi
penyangga utama lingkungan, hutan-hutan tersebut juga menjadi sumber
folklor atau cerita rakyat, yang tercatat dalam dongeng, kepercayaan
lokal, babasan, dan paribasa. Kawasan selatan Garut memang memiliki
hutan legendaris, yaitu Leuweung Sancang.
Banyak kisah mengandung kepercayaan (mitos) yang menganggap Sancang
sebagai tempat tilem (menghilang) Prabu Siliwangi. Menurut cerita rakyat
yang berhasil dikumpulkan oleh panitia Hari Buku International
Indonesia yang diprakarsai Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 1972, Prabu Siliwangi mubus (kabur
menyelinap) ke arah selatan karena dikejar-kejar anaknya, Kian santang,
agar masuk Islam. Tiba di Hutan Sancang, ia bersama pengikut setianya
menghilang. Prabu Siliwangi mindarupa (berubah wujud) menjadi harimau
putih, sedangkan pengikutnya menjadi harimau belang manjang yang disebut
maung Sancang. Warna garis-garis hitam horizontal yang memanjang dari
arah kepala ke bagian ekor membedakan maung Sancang dengan maung Lodaya,
penghuni asli Sancang yang bergaris-garis hitam vertikal. Konon harimau
putih jelmaan Prabu Siliwangi bersemayam di sebuah goa besar bernama
Guha Garogol dan sesekali merenung menyendiri di puncak Karang Gajah di
dekat muara Sungai Cikaingan. Adapun maung Sancang mendiami
rumpun-rumpun kayu kaboa, sejenis pohon bakau, yang hanya terdapat di
pantai Samudra Hindia kawasan Sancang.
Menurut sebagian besar masyarakat Sukanegara, Situs Gunung Nagara erat
kaitannya dengan penyebaran Islam diwilayah Garut Selatan yang
disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau
sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan
terakhir Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Maharaja
Pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung
tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi.
Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat
peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini
bahwa kuburan asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman
Gunung Nagara.
Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat
persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah
Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di
tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi
merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk
Islam.
Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan “Godog” yang mengandung arti
tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan “Kawah
Candradimuka”, dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah
tersebut dinamakan “Suci”, yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia
kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut
Selatan.
Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah
Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan
dengan tokoh Fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan
Sunan Gunung Jati keponakan dari Prabu Walangsungsang pendiri Kesultanan
Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau
Ratu Sanghiang (1521-1535 M).
Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah
cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Sri Sang Ratu
Dewata Kajayaan Padjajaran di Pakuan Padjadjaran, dari Lara Santang yang
sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang,
ujar Deddy Effendie kepada garut.go.id di Garut.
Beliau menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas
Ambetkasih, Nyi Mas Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda
(Adik dari Pangeran Amuk Barugul Putra Mahkota Sunda). Subanglarang
melahirkan tiga orang anak terdiri Rakeyan Santang Parmana,
Walangsungsang dan Lara Santang, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda
melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua
yakni Prabu Surawisesa.
Sementara itu, Rakeyan Santang Parmana memiliki banyak nama antara lain
Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan
Rohmat Suci atau Sunan Godok atau Kean Santang, Eyang Brajasakti. Tokoh
inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja
Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan
agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan
untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran,
petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut
berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.
Menurut Deddy Effendie (berdasarkan sumber tradisi Garut), Hilman Hafid
(Penulis buku "Nyukcruk Galur Mapay Raratan Siliwangi) dan Ir H. Dudung
Fathirrohman (Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang
dikemukakan kepadanya) menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran
menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun
kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan
bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh. Maka jika meneliti
naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh
itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi
VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankanaya
India, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera (Putri Hijau) tidak
memiliki anak sehingga mengangkat anak kemudian diakuinya sebagai
anaknya sendiri bernama Brajagiri. Kretawarman merasa dirinya mandul,
tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal
sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang
pencari kayu bakar (Wang Amet Samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi
Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir
Pantai selatan Garut. Putrinya Nyimas Kanditha Setiawati dinikahi
Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu
ditinggalkan dan mungkin dilupakan.
Kanditha Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu
menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita
kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan
anak laki-laki yang ditinggalkan ketika melahirkan. Anaknya oleh Ki
Parangdami dipanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak
Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya
untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang dikabarkan
memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi. Sumber lain
mengisahkan bahwa setelah melahirkan putranya, Nyimas Kanditha Setiawati
lebih memilih menyendiri ditepi pantai Sayang Heulang dalam perenungan
hidupnya, sehingga suatu saat mendengar bisikan ghaib dari arah laut
selatan tersebut. Hal ini yang dikaitkan dengan legenda Nyai Roro Kidul
atau Putri yang bersedih dari Selatan. Sumber lain juga mengisahkan
bahwa setelah Nabi Sulaeman AS wafat, Ratu Bilqis bertapa disuatu negara
& bertemu dengan seorang Putri, yamg diangkat menjadi penguasa Laut
Selatan.
Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat
berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu
mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.
Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian
meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.
Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung/hutan
Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh
Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali.
Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman,
yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah
pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang
Kretawarman) turut memimpin pasukan. Rakeyan Sancang unggul, Prabu
Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi
tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka
saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang
anak Sang Kretawarman. Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera
dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu
Siliwangi untuk di Islam-kan.
Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap
kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk
sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut
sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau
Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam
peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie
mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.
Kisah lain juga menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib selain memberikan
pedang Nabi Muhammad SAW, beliau juga memberikan tongkatnya (yang
terbuat dari kayu Kokka) pada Kean Sancang sebagai kenang-kenangan. Oleh
Kean Sancang tongkat tersebut disimpan dibagian lain hutan Sancang
(Hutan/Leuweung Sancang Opat). Seiring berjalannya waktu, karena mungkin
karena faktor kesuburan tanah didaerah hutan Sancang, tongkat Ali bin
Abi Thalib yang terbuat dari bahan kayu Kokka itu tumbuh menjadi pohon
yang kini dikenal dengan nama pohon Kaboa.
Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau
sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera
dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan
pariwisata. Hingga pertengahan tahun 1980-an, Hutan Sancang sebagai
hutan tutupan suaka margasatwa masih terbilang utuh, tetapi pada tahun
1998 mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan
pembalakan liar. Salah satu satwa liar penghuni Sancang, banteng, hilang
lenyap tak berbekas. Mungkin satwa itu kabur ke arah Hutan Pangandaran
yang masih cocok untuk habitat banteng atau mungkin bergelimpangan mati
akibat dampak perusakan hutan. Nasib banteng Sancang sangat mirip dengan
nasib banteng Cikepuh, Kabupaten Sukabumi, yang juga rusak terkena
penyelewengan eforia reformasi.
Area Hutan Sancang kini menyempit karena sebagian terkena pembangunan
jalur jalan lintas selatan. Kondisi keamanannya sangat rawan. Kekayaan
flora dan faunanya juga sangat menyusut. Selain kehilangan banteng,
Sancang juga kehilangan berbagai jenis burung langka, seperti rangkong
dan julang, serta harimau, baik maung Sancang maupun maung Lodaya. Jenis
kayu werejit yang getahnya mengandung racun keras ikut tumpas bersama
kayu-kayu hutan tropis heterogen lainnya. Yang masih tersisa dari Hutan
Sancang mungkin hanya legenda dan mitos, yang juga mulai tergerus waktu.
Islam Masuk ke Garut Sejak Abad 1 Hijriah
Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah
Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan
dengan tokoh fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan
Sunan Gunung Jati pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan
Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sangiang (1521-1535 M).
Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah
cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita
mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy
Effendie kepada garut.go.id di Garut, Selasa.
Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Sindangksih,
Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda, Subanglarang
melahirkan tiga orang anak terdiri Walangsungsang, Lara Santang dan
Raden Sangara, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra
Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua yakni Prabu
Surawisesa.
Sementara itu, Raden Walangsungsang memiliki banyak nama antara lain
Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan
Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.
Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra
Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang
keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi
keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan
Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di
Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di
Cilauteureun.
Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan
Kean Santang di Islam- kan oleh Sayidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan
memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.
Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti
Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan
Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada
zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).
Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk
akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang
Islam, padahal istrinya Islam.
“Info Terbaru”
Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan
kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam
pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam
membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M)
mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.
Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh
dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja
Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri
dari Calankayana, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak
memiliki anak sehingga menangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya
sendiri bernama Brajagiri.
Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada
adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat
memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet
samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat
hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.
Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama
sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.
Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada
suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak
pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang
ketika melahirkan meninggal dunia.
Anaknya oleh Ki Parangdami dopanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang
Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah
suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang
dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.
Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat
berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu
mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.
Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian
meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.
Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung/hutan
Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh
Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali.
Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman,
yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah
pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang
Kretawarman) turut memimpin pasukan.
Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang
dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh
pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah
sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman.
Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang
menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.
Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap
kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk
sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut
sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau
Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam
peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie
mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.
Prabu Kian Santang, Raja Yang Hidup Abad Ke 15
Prabu Kean santang
atau Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci, adalah Putra Prabu
Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Raja Pakuan Pajajaran dengan Nyi
Subang Larang, Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang
dinikahkan oleh Syekh Quro Karawang. Dari pernikahan Sri Baduga Maharaja
dengan Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang putra yaitu Walangsungsang
(Pangeran Cakrabuana), Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati) dan Prabu
Kiansantang.
Godog adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan
nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya
di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana
terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam
Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang
ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud
Prabu Kiansantang atau
Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja
Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala
Wangi (Nyi Subang Larang). Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di
Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang
Sungsang.
Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kian
santang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan
dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu
Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar
Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan
tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk
Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu
Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di
lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai
pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.
Kian santang
merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa
mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun,
tepatnya tahun 1348 Masehi, Kian santang belum pernah tahu seperti apa
darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan
kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana
ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya.
Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan
seorang lawan yang dapat menandinginya.
Sang ayah memanggil para
ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti
yang dapat menandingi Kian santang. Namun tak seorangpun yang mampu
menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa
orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kian Santang adalah
Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu
itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara
gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa.
Lalu, orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang:
“Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama,
harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti
menjadi Galantrang Setra (Galantrang – Berani, Setra – Bersih/Suci).
Setelah
Prabu Kian santang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah
dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah,
ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kian
santang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu adalah bernama Syekh Ali
al arobbi. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi
Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.
“Kenalkah
dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki-laki itu menjawab
dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang.
Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, syekh Ali al arobbi berkata,
“Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong
ambilkan dulu!”
Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun syeh Ali
al arobbi. mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan
Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu,
untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap,
Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata
tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali
lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak
berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat
tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di
tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk
ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Syeh
Ali al Arobbi. mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah
Syeh Ali al Arobbi. tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil
mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan
bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu
tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia
bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang
tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah
itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang
Setra belum masuk Islam.
Kemudian mereka berdua berangkat menuju
Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya
kepada laki-laki itu dengan sebutan syeh Ali al arobbi. Galantrang Setra
kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru
dikenalnya tadi tiada lain adalah syeh Ali al arobbi
Setelah Kian
santang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia
terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke
Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus
bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kian santang
masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran
agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk
menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya
di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan
pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan
syeh Ali al arobbi. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa
dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk
agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya,
terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak
percaya, dan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi, Kian santang
berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara
diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh
Prabu Anggalang. Prabu Kian santang bermukim di tanah Mekah selama tujuh
tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah
cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran
tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa.
Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga
di Pajajaran sambil membantu Kian santang mensyi’arkan agama Islam.
Setiba
di Pajajaran, Kian santang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan
masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan
dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka.
Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di
lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi mendapat
berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap
kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai
pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku meninggalkan
keraton Pajajaran”.
Melihat gelagat demikian, Kian santang
mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan
dengan Kian santang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para
pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah
beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kian santang menghadangnya di laut
Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.
Dengan rasa menyesal, Kian santang terpaksa membendung jalan larinya
sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua
sancang Pameungpeuk.
Prabu Kian santang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi.
Kian
santang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan
sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar
Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu
Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau
generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek
moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.
Pada
tahun 1372 Masehi, Kian santang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan
dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun
1400 Masehi, Kian santang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan
Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kian santang tidak
lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat
yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar
bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka
mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat
tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau
Gunung Suci Garut.
Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan
tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat
bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/berubah,
maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kian santang harus
diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kian santang menyerahkan
tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding
Kawati.
Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu
Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kian santang meninggalkan Pajajaran.
Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya
disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias
berubah. Kian santang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya,
disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kian santang memutuskan untuk
berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu
disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan
godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kian santang bahwa
ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.
Prabu Kian santang
bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut
Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar
kurang lebih 1 Km. Prabu Kian santang namanya diganti menjadi Syeh Sunan
Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada
tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di
tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau
Makam Karamat Godog.
Yang benar itu kian santang masuk islam oleh
syekh Ali al arobbi. Bukan sayidina ali. Karena sayidina ali itu hidup
di Zaman nabi. sedangkan kian santang tidak hidup di zaman nabi.
SEJARAH GARUT VERSI MAJLIS DZIKIR SUNAN ROHMAT
Kota Garut merupakan ibu-kota wilayah Priangan Timur yang terkenal
dengan alamnya yang asri, pegunungan yang indah, hawanya sejuk-segar,
tanahnya subur, penduduknya peramah dan alim. Pengaruh dari
ajaran-ajaran Islam terhadap penduduk Garut bekembang dengan mendalam,
sebagai peninggalan sejarah penyebaran agama Islam antara lain adanya
makam Godog yang dikatakan sebagai makam keramat; yaitu makam Prabu
Kiansantang penganut agama Islam yang pertama dari Kerajaan Pajajaran.
Sejarah kota Garut dapat ditelusuri dari hadirnya Kerajaan Zaman Hindu
di Jawa Barat yang pertama, yaitu Tarumanegara (didirikan pada tahun
400). Kemudian muncul Kerajaan Galuh (1249-1333), Kerajaan Pajajaran
(1333-1579) yang meliputi daerah Jawa Barat (Pasundan) dengan Rajanya
yang terkenal yakni Prabu Siliwangi berkedudukan di Pakuan (Bogor).
Berkembangnya Islam di pulau Jawa lambat laun memasuki kalangan Keraton,
sehingga menjadi tanda pergantian zaman, dari Zaman Hindu ke Zaman
Islam.
Putra Prabu Siliwangi yang bernama Kiansantang, terkenal gagah perkasa
dan sebagai putera mahkota yang pertama memeluk agama Islam, telah
menyebarkan agama Islam sampai ke daerah Garut. Tempat yang terkenal
sebagai pusat penyebaran agama Islam di Garut disebut daerah Suci, makam
Prabu Kian santang berada di daerah Godog dilereng Gunung Karacak,
sehingga beliau disebut dengan nama Sunan Godog atau Sunan Rochmat.
Makam tersebut dianggap keramat, pada setiap bulan maulud banyak orang
yang ber-ziarah.
Terdapat bekas tempat tinggal (Patilasan) Kiansantang pada saat
menyebarkan agama Islam di daerah Garut selatan (di Gunung Nagara Desa
Depok), yang dianggap sebagai keramat. Bahkan ada cerita karena
kesaktiannya, maka rakyat yang tidak mau memeluk Agama Islam ditenung
(disantet) dengan tongkatnya kemudian seketika menjadi Harimau, (alkisah
dikabarkan mereka yang tidak mau memeluk agama Islam, lari ke hutan
yang disebut dengan Leuweung Sancang). Peninggalan Kiansantang yang saat
ini masih ada yaitu : (1) Quran di Balubur Limbangan, (2) Keris
(Duhung) di Cinunuk Hilir (Wanaraja), (3) Tongkat di Darmaraja, (4)
Kandaga (Peti) di Godog.
Lahirnya Garut sebagai salah satu kota tempat penyebaran agama Islam,
diawali dengan munculnya pesantren pada saat hadirnya Sjech Kamaludin
keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon (1552-1570), sebagai Demang (Wedana)
Timbanganten, mendapat julukan Sembah Dalem Sjaechuna Timbanganten,
beliau memberikan ajaran agama Islam .Kemudian murid-muridnya membuka
pesantren di berbagai tempat di Garut.
Kabupaten Limbangan merupakan cikal-bakal lahirnya Kabupaten Garut,
dijaman yang lampau Balubur Limbangan mengalami zaman keemasan yang
gilang-gemilang, subur-makmur, aman dan tentram; maka Balubur Limbangan
menjadi catatan para sejarahwan dan tidak mudah dilupakan orang, karena
kecakapan pemerintahnya, dapat menjalankan, memperhatikan keseimbangan
di segala bidang dan dapat mengikuti perkembangan syiar Islam yang
dilakukan oleh pemerintah Cirebon, Limbangan saat itu dikenal dengan
wilayah yang mempunyai daya kekuatan batin.
Nama Limbangan berasal dari kata Imbangan yang berarti memiliki kekuatan
batin, pada abad dimana Islam sedang pesatnya mengalir ke setiap
pelosok tanah air Indonesia, Limbangan dipimpin oleh seorang bupati,
sebagai wakil dari Syarif Hidayat (1552-1570). Awalnya pemegang
kekuasaan limbangan adalah Dalem Prabu Liman Sendjaya cucu dari Prabu
Siliwangi dan anak dari Prabu Lajakusumah. Prabu Liman Sendjaja diganti
oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I, yang lebih dikenal
julukan Sunan Dalem Cipancar.
Mulai dari Raden Widjajakusumah ke-1 ini, Bupati Limbangan yang dikenal
dengan Bupati Galih Pakuan sangat termasyhur akan kebijaksanaannya dalam
memimpin, tentang kecakapan mengatur pemerintahan, peribahasa Sunda
(Dinas P dan K Kabupaten Garut : 1963) mengatakan Sepi Paling Suwung
Rampog, Hurip Gusti Waras Abdi (aman, tentram dan damai).
Bupati Widjajakusumah sebagai pemuka tabir bahwa Balubur Limbangan
mempunyai kekuatan batin. Syahdan Kepala daerah Cirebon, Syarif Hidayat.
Pada suatu saat beliau memerintahkan kepada semua bupati untuk
menghadiri rapat bupati di Cirebon, seluruh bupati diwajibkan hadir
tepat waktu, bila ada yang melalaikan perintah Syarif Hidayat, maka akan
dikenakan hukuman mati.
Upaya tersebut merupakan penanaman disiplin bagi aparatur negara pada
waktu itu. Maksud dari yang terpenting dari kumpulan itu, guna
menjelaskan tentang keunggulan ajaran agama Islam. Pada saat itu
ditegaskan bahwa sebagai penganut Islam, harus berjanji untuk
menjalankan segala perintah agama dan tidak akan bertentangan dengan
hukum-hukum serta menurut perintah Tuhan.
Perjalanan dari Limbangan menuju Cirebon saat itu sangat sulit, oleh
karena itu Bupati Galihpakuan, Raden Widjajakusumah datang terlambat
pada acara rapat tersebut. Sesampainya di Pendopo, Bupati Galihpakuan
ditangkap oleh para algojo yang bertugas, dan akan dibunuh dengan
mempergunakan senjata miliknya, namun ketika keris ditusukkan pada tubuh
Bupati Raden Widjajakusumah, tiba-tiba semua algojo itu terjatuh lemas
ke tanah.
Seluruh isi Pendopo menjadi panik, hingga rapat terganggu dan dihentikan
untuk sementara waktu, Syarif Hidayat keluar dan menjumpai para algojo,
beliau menanyakan sebab-sebab kejadian ini, maka para algojo
menjelaskan, bahwa saat menjalankan tugas dari beliau untuk menghukum
Bupati Galihpakuan yang datang terlambat, mereka tidak berdaya. Syarif
Hidayat menoleh kepada Bupati Galihpakuan, maka mengertilah bahwa bupati
yang bersalah itu seharusnya dihukum dengan tidak mengenal pangkat,
teman atau saudara.
Bupati Galih pakuan dengan iklas mempersembahkan kerisnya kepada Syarif
Hidayat, guna menjalani hukuman. Setelah keris berada ditangan Syarif
Hidayat, maka terlihatlah lapadz Quran Laa Ikrooha Fiddiin, yang terukir
pada keris tersebut, maka Syarif Hidayat memahami, bahwa orang yang
diizinkan memakai keris tersebut adalah orang yang sangat berjasa,
karena keris tersebut adalah senjata pusaka dari Prabu Kian santang
Pendekar Agama Islam. Keris itu dapat dipandang sebagai bintang
perjuangan dalam menyebarkan agama Islam.
Akhirnya Syarif Hidayat tidak jadi membunuh Bupati Galihpakuan dan
mengumumkan kepada semua bupati dalam rapat, bahwa Bupati Galihpakuan
tidak jadi dibunuhnya karena beliau merupakan orang yang sangat berjasa
dalam penyebaran agama Islam, terbukti dengan memilikinya Senjata
Pusaka. Dijelaskan pula oleh beliau bahwa keterlambatannya bukan berarti
melalaikan undangannya, tetapi karena disebabkan sulitnya perjalanan.
Diumumkan pula, bahwa sejak hari ini nama Bupati Galihpakuan diganti
dengan nama Bupati Limbangan yang berarti bahwa Galihpakuan telah
mengimbangi Cirebon dalam syiar Islam.
Nama Limbangan saat ini masih ada dan Senjata Pusaka pun masih ada pada
keturunan Raden Wangsa Muhammad alias Pangeran Papak di Cinunuk
Kabupaten Garut. Dalam sejarah Kabupaten Limbangan disebutkan bahwa
Bupati Limbangan yang berkedudukan di Limbangan, yang terakhir adalah
Bupati Raden A.A. Adiwidjaja.
Pada tahun 1812 di tetapkan bahwa kedudukan bupati di pindahkan ke
daerah distrik Suci, di suatu kampung yang sunyi-senyap yaitu Garut.
Semula Ibu Kota akan dipindahkan di daerah Karangpawitan, namun tidak
memiliki sumber air sehingga tidak terpilih, maka tempat itu disebut
pidayeuheun.
Sebagai lazimnya setiap nama tempat memiliki riwayat, begitupun Garut
mempunyai riwayat sebagai berikut; Sebelum Garut menjadi tempat tinggal
(perkampungan), orang yang menemukan tempat itu tertarik oleh tanahnya
yang datar dan mempunyai pemandangan indah yang dikelilingi oleh
gunung-gunung. Ditengah-tengah dataran itu terdapat sebuah mata air yang
merupakan telaga kecil tertutup oleh semak belukar yang berduri, dari
mata air yang merupakan telaga kecil itu mengalir sebuah anak sungai
kecil.
Pada saat orang yang menemukan telaga kecil itu akan mengambil air,
tangan mereka tergores (kagarut) rerumputan hingga berdarah. Kemudian
semak-belukar tersebut dinamainya Ki Garut. maka telaganyapun diberi
nama Ci-Garut. Semak belukar tersebut secara bergotong-royong
dibersihkan dan kemudian dibangun menjadi kota Kabupaten Limbangan yang
baru.
Pembangunan perumahan, jalan-jalan dan segala fasilitas lainnya, selesai
tanggal 1 April tahun 1813. Sejak itulah Kota Garut menjadi Kota
Kabupaten. Bupati Garut yang pertama adalah Raden A.A. Adiwidjaja, yang
kemudian mendapat julukan Dalem Cipeujeuh, karena dimakamkan di
Cipeujeuh.
Adat-istiadat rakyat yang selalu hormat setia kepada kepala daerahnya
mulai kepada Lurah (Kepala Desa) sampai kepada Bupati dengan mendapat
sebutan : Juragan, Gamparan sampai Kangjeng, ditiru pula dalam hubungan
antara buruh dan tuan-kuasa anderneming, mendapat panggilan Kangjeung
Tuan Besar.
Majunya perusahaan Asing (perkebunan) memerlukan pegawai Indonesia
rendah yang pandai membaca dan menulis (antara lain untuk menjadi
mandor, Juru Tulis). Tahun 1872 didirikan sekolah yang lamanya tiga
tahun, jumlah sekolah pada waktu itu hanya sedikit demikian pula
muridnya. Rakyat lebih tertarik untuk mengikuti pendidikan pesantren
dari pada bersekolah.
Pada Tahun 1900 diadakan sekolah Kelas Satu yang lamanya lima tahun,
Pada tahun 1907, Sekolah Kelas Satu menjadi enam tahun dan ditambah
dengan pelajaran bahasa Belanda, Murid yang diterima masuk kesekolah
Kelas Satu itu hanya keturunan kaum bangsawan saja. Untuk rakyat
kebanyakan di adakan sekolah Kelas Dua lamanya empat tahun.Pada tahun
1914 sekolah Kelas Satu dirubah menjadi H.I.S., bahasa pengatarnya
bahasa Belanda dan kepala sekolahnya orang Belanda, sedangkan untuk
anak-anak Belanda sendiri didirikan sekolah Belanda.
Mengawali implementasi emansipasi perempuan dan kemitrasejajaran gender
di Garut saat itu, isteri Bupati Garut Raden Ayu Lesminingrat mengikuti
jejak Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah Kautamaan Isteri pada tahun
1910 tempatnya di halaman Kabupaten. Pada tanggal 31 Juni 1931 di Garut
berdiri cabang PASI (Pasundan Istri). Usaha Pasi sejak berdirinya
sebagai berikut ; (1) tahun1933 mendirikan Consuntatie Bereau, (2) tahun
1933 mendirikan Bank Pasi mendapat hak Badan Hukum tahun 1936, tahun
1936 mendirikan Badan Kematian dan Verbruik Cooperatie. Dalam aksi-aksi
Pasi tidak ketinggalan, tahun 1934 mengadakan rapat umum menuntut supaya
di Volksraad ada perwakilan perempuan. Tahun 1939 mengadakan rapat umum
bersama-sama dengan Gapi bertempat di Gedung Taman Siswa Garut untuk
menuntut Indonesia berparlemen.
Uraian tentang sejarah Garut tersebut menunjukkan bahwa Garut sebagai
salah satu daerah pusat penyebaran agama Islam telah menjadikan
masyarakatnya terinternalisasi oleh nilai-nilai Islam dan sebagai bekas
pemerintahan jaman kerajaan pun, masyarakatnya masih menghargai dan
membanggakan perbuatan terpuji yang telah dilakukan leluhurnya, seperti
Prabu Kiansantang. Disamping itu aktifitas pemberdayaan perempuan
tercermin dari realitas emansipasi perempuan dalam kegiatan organisasi
Pasundan Istri yang diprakarsai ole istri Bupati Garut pada tahun 1910.
Kesimpulan :
1. Prabu Siliwangi mindarupa (berubah wujud) menjadi
harimau putih, sedangkan pengikutnya menjadi harimau belang manjang yang
disebut maung Sancang ===> Dalam Agama Islam tidak ada reinkarnasi,
istilah reikarnasi hanya ada dalam agama Hindu dan Budha, yang jelas
tersebut adalah mahluk Ghoib (Jin).
2. Yang ditemui Prabu Kian Santang bukan sayidina ali r.a karena
terpaut jarak perbedaan abad yang jauh. Prabu Siliwangi hidup pada abad
ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M,
sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan
tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).